Kenalkan,
namaku Samantha....umurku 12, sudah 76 tahun aku berada dalam tubuhku yang
tetap saja berumur 12. Entah sudah berapa banyak wanita atau laki laki atau
bahkan binatang binatang yang lahir dan mati di depan kedua mataku. Betapa
beruntungnya jika aku bisa berinteraksi dengan mereka secara nyata, aku rela
melakukan apapun agar bisa sedikiit saja berbicara dengan mahkluk
hidup..benar-benar hidup secara nyata.
Jika
dibandingkan anak-anak keturunan yang lain, wajahku ini kurang
menarik...sifatku pun mengikuti ketidakmenarikan wajahku. Semasa hidupku
rasanya sama saja, tidak begitu menyenangkan. Satu satunya mahkluk yang kuingat
semasa hidupku adalah burung pipit sahabatku bernama irene, yang kutemukan
tergeletak dibawah pohon halaman rumah. Kaki irene patah sebelah, karenanya dia
tidak bisa kembali terbang. Aku yakin, irene mau tak mau terpaksa menghabiskan
waktunya denganku...seandainya dia bisa terbang, mungkin akan pergi
meninggalkanku..sama seperti yang lainnya.
Jika kau
tanya apakah aku punya ayah ibu? akan kujawab iya. Jika kau menanyakan
keberadaan mereka? akan kujawab "mana kutahu". Setahun sebelum aku
mati, mereka memanggilku ke ruang kerja papa.....disana mereka berkata kepadaku
"Samantha, kami akan pergi sebentar ke netherland.....hanya mengurus
beberapa tanah opa yang akan dijual, tidak akan lama...hanya satu bulan".
Dan...ya, begitulah kalimat terakhir yang kudengar dari mulut
mereka...selanjutnya, tidak kuterima satupun kabar sampai akhirnya aku harus
mati tanpa mereka disampingku.
Aku
tinggal di sebuah perkebunan milik papa yang sangat luas di daerah yang kini
dikenal dengan nama jawa barat, tepatnya di daerah ciater. Papa adalah orang
Belanda yang cukup dikenal saat itu, tanahnya cukup luas dan dia memiliki
banyak sekali budak yang bekerja untuknya. Mamaku adalah wanita belanda yang
sangat elegan....wajahnya cantik dan sangat mengutamakan penampilan. Aku yakin,
wajahku tidak mirip dengannya...wajahku lebih mirip papa, dan harus kuakui
kalau papa tidak begitu tampan untuk sosok yang cocok mendampingi mama.
Orangtuaku jarang terlihat berbicara satu sama lain, jangan mengharapkan
keromantisan terjadi di rumah ini. Jangankan mengurusku, menanyakan bagaimana
keadaanku setiap hari pun enggan keluar dari mulut mereka...
Sahabatku
hanya irene si burung pipit, temanku yang lainnya hanyalah guru privat seorang
pemuda lokal bernama pak asep yang papa tunjuk untuk mengajariku berbagai macam
ilmu yang dia pelajari. Pa asep terlalu kaku untuk dijadikan teman, dia terlalu
takut untuk mengajakku bermain....mungkin karena takut oleh papa yang memang
selalu menekankan jarak antara keluarganya dengan orang-orang lokal. Seharusnya
aku bersekolah bersama anak anak sebangsaku. Tapi ada pertimbangan lain yang
membuatku harus selalu berada di rumah.
Ya, aku
mengidap penyakit aneh....di beberapa bagian tubuhku terdapat sesuatu yang
membentuk gunung yang semakin lama semakin membesar, kalau mengutip kata kata
manusia jaman sekarang...itu adalah benjolan. Semakin lama semakin sakit, dan
dokter yang merupakan sahabat papa bercerita kepada orangtuaku bahwa aku
mengidap penyakit mematikan. Resepnya hanya beristirahat setiap hari dan makan
makanan bergizi...aku tidak merasakan betapa berbahayanya penyakitku sampai
perlahan kudapati helai rambutku berjatuhan sampai terlihat aga botak, berat
badanku menurun drastis, dan daya tahan tubuhku menjadi semakin melemah. Entah
apa penyakit yang telah merusak tubuhku ini...
Semakin
hari kondisi tubuhku semakin menyedihkan.....dan semakin menyedihkan pula
perlakuan papa mama padaku. Mereka menugaskan seorang wanita lokal untuk
mengurusi kebutuhanku, namanya rumi. Rumi cukup baik, tapi aku masih sangat
mematuhi ajaran papa...yang tidak mengijinkan orang sebangsaku untuk bergaul
dengan orang lokal. Rumi tak pernah kuajak berbicara, tapi dia terus melayaniku
dengan baik...bahkan lebih baik daripada orangtuaku yang semakin lama semakin
jarang kulihat, padahal aku adalah satu satunya putri mereka yang sedang sakit
dan membutuhkan uluran kasih sayang mereka.
Aku mati
setahun setelah papa dan mama pergi ke netherland. Aku mati dalam keadaan tak
berambut dan badan kurus dipenuhi lebam yang entah darimana asalnya. Aku mati
dipelukan Rumi, wanita yang selama ini tidak pernah ku perlakukan dengan baik.
Aku mati menunggu papa dan mama pulang......orangtuaku yang tak kunjung kembali
dari netherland. Aku mati bukan ditangan nipon....bukan seperti teman teman
sebangsaku lainnya yang tinggal di negara ini, tapi aku mati ditangan orangtua
yang tidak mau menganggapku anak karena penyakit ini.
Aku
tinggal diatas bukit saat ini, di sebuah perkebunan teh ciater yang disulap
menjadi perumahan mewah. Diatas bukit itu ada sebuah pondok istirahat tempat
orang orang yang naik keatas bukit beristirahat. Disekitar pondokku terpasang
huruf huruf begitu besar di sepanjang bukit. Aku diam disitu....menanti kapan
aku bisa pulang dengan tenang, tanpa dendam kepada kedua orangtuaku. Walau aku
marah mengakuinya, tapi aku tetap menunggu mereka..datang menjemputklu disini.
Kadang aku
bermain main bersama anak kecil yang sering ikut orangtuanya bertamasya di
bukitku...ada yang melihat ada yang tidak, tapi biasanya hanya anak balita yang
bisa melihatku..selebihnya tidak. Suatu malam aku pernah menangis...ya...aku
teringat kedua orangtuaku dan segala kesedihan semasa hidupku. Di dekatku ada
beberapa tenda berdiri, bentuknya bulat berwarna biru...aku mendekati tenda itu
karena warnanya yang bagus...tapi ,masih dalam keadaan tetap menangis. Dari
dalam tenda kudengar suara anak perempuan berbisik, "Hey....kamu
kenapa?". Aku sedikit kaget, kubenamkan kepalaku menembus tenda untuk
melihat sumber suara itu...didepanku tampak seorang anak perempuan lokal
seusiaku, berambut pendek menatap wajahku sambil tersenyum.. "Hey jangan
menangis, sini main sama aku yuk...". Aku mulai berhenti menangis karena
kaget dan bahagia akhirnya ada yg bisa mendengar dan berinteraksi denganku, kuusap
air mataku dan tersenyum ke arahnya sambil kuulurkan tanganku dan berkata
"Halo aku samantha...siapa namamu?", dan gadis itu menjawab "Hai
Samantha...kenalkan, aku risa."
This article's taken from: http://sarasvatirisa.blogspot.com
This article's taken from: http://sarasvatirisa.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar