Ibuku memutuskan untuk
menikah lagi dengan laki-laki yang pernah dicintainya jauh sebelum
akhirnya terjerumus kedalam cinta papa, maka lahirlah kesembilan
adik-adikku setelahnya. Ibu begitu mencintaiku, tapi tidak dengan Bapa
tiriku… dia menatap mataku seolah sedang melihat sosok seorang penjajah,
karenanya pula kesembilan adikku tak pernah sedikitpun bersikap ramah
kepadaku. Aku tak mengenal Bapa, saudara, kakek, atau nenek. Bagiku
hidup ini sangatlah sepi, hanya ada aku dan ibu.
Ditempat ini, aku hidup
bagaikan mahkluk aneh. Mereka menyebutku “anak Indo”, sebuah istilah
yang menggambarkan sosok campuran antara dua bangsa, Indonesia dan
Eropa. Mungkin ada beberapa keluarga yang memiliki darah serupa
denganku, tapi tidak ditempat ini, sebuah perkampungan terpencil yang
letaknya cukup jauh dari pusat pemerintahan. Disini aku terlahir menjadi
sesosok mahkluk menjijikkan yang dibenci oleh siapapun, mereka
menganggapku sama dengan seorang penjajah.
Jika Tuhan memberikan aku
sebuah keajaiban, aku ingin merubah semua yang ada di diriku ini… aku
ingin menjadi sama seperti adik-adikku yang lain, adik-adik yang tampan
dan cantik dengan wciri khas manusia melayu.
Ibu selalu ada disisiku,
memberikan kekuatan sambil tak henti berbisik, “Ruth, kau akan menjadi
orang hebat…”.
Satu hal yang aku benci
dari Ibu, dia tak pernah mau mengakui bahwa pernah ada cinta antara dia
dan Papaku. Semua orang di kampung ini selalu menganggapnya korban dari
kebejatan bangsa Netherland, padahal beberapa kali sempat kumelihat Ibu
melamun sendirian didalam kamarnya yang suram, meneteskan air matanya
sambil sesekali membisikkan sebuah nama… Anthony, nama Papaku.
Seandainya Ibu mau mengakui perasaannya, mungkin orang tak akan
memperlakukan aku dengan begini buruk, memperlakukanku seolah aku adalah
buah hasil perkosaan seorang penjajah kepada Ibuku.
Oh... Ini tak adil bagiku…
Tetapi mungkin aku akan merasa lebih sakit lagi jika semua orang
menganggap Ibuku seorang pengkhianat karena telah mencintai seorang
penjajah.
Nasib buruk selalu
berpihak kepadaku… serangan Nippon seketika menyerbu tanah ini, mereka
mengincar semua yang berhubungan dengan bangsa Netherland. Aku adalah
satu-satunya wanita yang merasakan kekhawatiran berlebih dibandingkan
yang lainnya. Ibu, Bapa, dan semua adik-adikku bisa tetap hidup tenang…
karena mereka semua benar-benar memiliki darah murni bangsa ini.
Sementara aku, wajahku saja benar-benar tak mencirikan seorang anak
melayu meski sedikitpun aku tak tahu bagaimana hidup sebagai seorang
bangsa Netherland, semua darah yang Papaku punya jatuh padaku… tak
menyisakan sedikitpun kemiripan dengan bangsa Ibu. Hanya Ibu yang ikut
resah dengan kedatangan Nippon, dia takut anak perempuan indo-nya
menjadi korban dari kekejaman Nippon. Ibu tak pernah berhenti memeluk
dan mengusap kepalaku, dia berkata “Ruth, kamu akan baik-baik saja. Ibu
akan melindungi kamu hingga tetes darah yang terakhir”.
Aku ingat malam itu aku
tidur lebih cepat dari biasanya, sudah beberapa hari ini aku tidak bisa
tidur, bayangan tentang Nippon yang katanya sudah banyak membunuh bangsa
Netherland di kota terus menerus membayangiku. Jika mereka menemukanku,
aku yakin betul… aku akan mati ditangan mereka. Namun malam ini, mataku
beratt sekali… tanpa menunggu lama, aku tertidur dengan cepat… tak
seperti biasanya…
Tiba-tiba saja suara Bapa
membangunkan tidurku yang baru malam ini bisa nyenyak, “Heh anak setan!
Bangun kamu!”. Sebuah buntelan kain dilemparkannya ke arahku, “Ada apa
pa? Bapa kenapa bangunin saya?”, aku masih merasa sedang berada di alam
mimpi. “Cepat pergi kamu dari sini! Kau hanya anak pembawa sial! Sana
pulang ke negaramu! Aku tak sudi melihatmu disini mencelakai istri dan
anak-anakku!”, suaranya setengah berbisik… mungkin takut Ibu terbangun
karenanya. “Tapi saya ini kan anak Ibu dan Bapa juga? Saya tidak tahu
harus pergi kemana Pa…”, air mataku mulai berjatuhan setelah kini
akhirnya benar-benar tersadar bahwa dia tak mengharapkanku ada disini.
“Pergi saja lah! Jangan banyak bicara, atau kau mau kubunuh? Cepat pergi
sebelum Istriku terbangun!”, ditariknya tanganku dengan sangat kasar.
Malam itu, dingin… gelap… aku berjalan sendirian meninggalkan Ibu,
satu-satunya tumpuan hidupku untuk terus bertahan… tak sempat aku
berpamitan padanya… tak tahu kemana arah yang akan kutuju…
Aku masih berjalan
sendirian saat tiba-tiba kudengar derap langkah kaki yang cukup banyak
dan bersemangat, tubuhku refleks bersembunyi dibalik pepohonan yang
cukup besar, sementara mataku terus berkeliling mencari tahu asal suara
itu.
Didepan mataku, kulihat
banyak tentara Nippon bergerak menuju perkampungan tempat aku tinggal.
Entahlah, saat itu airmataku kembali menetes… dalam pikiran positifku,
aku merasa Bapa sedang melindungiku dengan caranya, dia mengusirku pergi
meninggalkan rumah, untuk melindungi keluarganya… termasuk diriku. Jika
aku masih terlelap tidur di rumah, mungkin mereka akan menemukanku, tak
hanya membunuhku… tapi juga akan membunuh seluruh keluargaku karena
dianggap menyembunyikan seorang Netherland. Aku yakin Bapa tahu tentang
kabar kedatangan orang-orang Nippon ini…
Setitik rasa bahagia
muncul ditengah kalut yang terus membayangiku… bapa punya cara sendiri
untuk peduli padaku… aku yakin Bapa sebenarnya menyayangiku seperti
menyayangi adik-adikku yang lain.
Tiba-tiba saja aku
teringat buntelan kain yang Bapa lempar ke arahku, rasa penasaran muncul
setelah pikiran baik tentang Bapa kepadaku melintas, aku ingin tahu apa
saja yang ada didalamnya…
Air mataku kembali berurai
ditengah kebisuan pepohonan malam ini, suara derap kaki tentara-tentara
itu sudah tak terdengar… yang tersisa hanya isak tangis haruku. Didalam
buntelan ini, kutemukan beberapa potong pakaianku yang sudah terlipat
rapi, sejumlah uang logam, singkong rebus berbungkus daun pisang, serta
seperangkat alat shalat berupa mukena. Aku tak pernah merasakan kasih
sayang seorang Ayah, sampai akhirnya detik ini… Tiba-tiba saja kurasakan
kasih sayang itu, benar adanya… Bapa menyayangiku.
Kugenggam pasir yang ada
disekitarku, menggunakannya untuk mensucikan diri sebelum sembahyang
malam. Entahlah, dalam resah ini aku hanya ingin beribadah dengan
menggunakan mukena yang Bapa bekalkan buatku. Kupakai mukena itu untuk
berdoa kepada-Nya semoga aku terlindungi dari segala perbuatan kejam
mahkluk ciptaannya. Aku berharap agar tetap bisa hidup, aku hanya ingin
kembali ke pangkuan keluargaku…
Saat mengakhiri sembahyang
malam, mengucap salam dan mengarahkan wajahku ke sebelah kiri, tepat
disampingku kulihat seorang laki-laki berkulit kuning kecoklatan,
bermata sipit, dengan pakaian menyerupai tentara tengah duduk
memperhatikanku yang cukup lama bersembahyang. Mataku terbelalak hebat,
walau belum pernah bertemu Nippon, aku tahu betul laki-laki ini adalah
salah satu diantara mereka. Aku yakin, dia akan membunuhku, aku yakin…
hidupku tak akan lama lagi berakhir.
Mulutku menganga siap
berteriak, namun tangannya tiba-tiba saja membekap mulutku. Dia berbisik
dengan bahasa asing yang tak pernah kudengar sebelumnya. Aku tidak
mengerti, tapi sepertinya jika dilihat dari gerak geriknya, dia ingin
agar aku tetap diam.
Tangannya membekap mulutku
lebih dari 1 jam, dan tubuhku masih duduk berbalutkan mukena. Dia tak
berkata-kata lagi, namun sepertinya tangannya tak bisa lepas dari
mulutku yang kini mulai terasa pegal, sepertinya dia takut aku akan
berteriak kencang… aku masih belum yakin akan perlakuannya, apakah dia
sedang melindungiku? Entahlah, dalam keadaan ini… aku hanya bisa pasrah.
Malam semakin gelap… hanya
suara serangga yang kudengar, dan suara nafasnya yang terdengar sangat
teratur, sepertinya laki-laki ini sangat tenang… dan aku mulai merasa
bahwa dia bukanlah laki-laki yang jahat.
Dia melepaskan dekapan
tangannya dimulutku, berdiri sambil tak henti memantau keadaan disekitar
kami, tangannya meraih pergelangan tangan kiriku, aku sempat
menolaknya… namun kepalanya mengangguk sedikit, seolah memberi tahu
bahwa aku akan baik-baik saja. Dituntunnya tanganku dalam kegelapan,
ternyata laki-laki ini bertubuh lebih tinggi dariku… dia tidak pendek
seperti yang lainnya yang tadi sempat kulihat sebelumnya. Kami sama-sama
membisu, malam itu rasa takut tiba-tiba sirna dariku, hatiku berkata
“Laki-laki ini akan melindungiku”.
This article's taken from: sarasvatirisa.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar